Khamis, 20 Ogos 2009

PeRtAnYaaN DaN JaWaPaN...

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya: Berkenan dengan datangnya bulan Ramadhan, yang bulan itu sebagai musim ibadah dan ketaatan, alangkah baiknya jika Anda berkenan memberikan nasihat kepada kaum muslimin berkaitan dengan hal ini. Semoga Allah Azza wa Jalla menjaga, menolong dan memberikan taufiq kepada Anda.

Jawaban:
Sebuah kalimat yang saya tujukan kepada kaum muslimin, bahwasanya pada bulan ini terdapat tiga macam ibadah yang agung, yaitu zakat, puasa, dan qiyam (berdiri untuk shalat).

Pertama: Zakat
Kebanyakan manusia menunaikan zakatnya pada bulan ini. Menunaikan zakat dengan penuh amanah merupakan kewajiban setiap orang. Hendaknya seseorang merasa bahwa zakat merupakan ibadah dan sebagai salah satu kewajiban Islam. Dengan itu, ia bisa mendekatkan diri kepada Rabb-nya dan melaksanakan salah satu dari rukun Islam yang agung. Membayar zakat bukan sebuah kerugian sebagaimana yang digambarkan syaithan.

Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya);

“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir). Sedangkan Allah menjanjikan kepadamu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 268)

Bahkan membayar zakat sebenarnya merupakan keuntungan. Karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya);

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 261)

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka adalah seperti kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat itu tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun (telah cukup baginya). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Baqarah : 265)

Kemudian hendaknya seorang muslim mengeluarkan zakat yang wajib atasnya, baik dari harta yang sedikit maupun banyak. Selalu mengintropeksi diri dan tidak melalaikan setiap yang wajib dizakati, melainkan ia membayarkannya. Dengan demikian, dia akan terbebas dari tanggungan dan ancaman dahsyat, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya);

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil terhadap harta-harta yang Allah berikan kepada mereka sebagai karunia-Nya itu menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sesungguhnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala urusan(yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali-Imran : 180)

Allah Azza wa Jalla juga berfirman (yang artinya);

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka; ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.’” (QS. at-Taubah : 34-35)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Barangsiapa yang diberi harta oleh Allah Azza wa Jalla, lalu ia tidak menunaikan zakatnya, (maka) pada hari Kiamat hartanya dijelmakan menjadi seekor ular jantan aqra’ (yang putih kepalanya, karena banyaknya racun pada kepala itu) yang berbusa di dua sudut mulutnya. Ular itu dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Ular itu mencengkeram dengan kedua rahangnya, lalu ular itu berkata, ‘Saya adalah hartamu, saya adalah simpananmu.’”

Adapun ayat yang kedua, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkannya dengan bersabda (yang artinya);

“Tidaklah pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya (yaitu zakat) melainkan pada hari Kiamat akan dijadikan lempengan-lempengan di neraka. Kemudian dipanaskan di dalam neraka Jahannam. Lalu dibakarlah dahi, lambung dan punggungnya. Tiap-tiap lempengan itu dingin kembali (dipanaskan dalam neraka Jahannam) untuk (menyiksa)nya. (Hal itu dilakukan pada hari Kiamat), yang satu hari sebanding dengan 50 ribu tahun, hingga diputuskan (hukuman) di antara seluruh hamba. Kemudian dia akan melihat (atau akan diperlihatkan) jalannya. Apakah dia menuju surga atau neraka.”

Demikian juga wajib baginya untuk memberikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya. Janganlah membayar zakat hanya sebagai kebiasaan atau dalam keadaan terpaksa. Dan dengan pembayaran zakat itu, (kemudian) tidak (berarti) menjadikan kewajiban-kewajiban selain zakat menjadi gugur. Sehingga dengan demikian, pembayaran zakat akan menjadi amalan yang diterima.

Kedua : Adapun Perkara Kedua yang Dilakukan Kaum Muslimin pada Bulan Ini, Ialah Puasa Ramadhan, Satu di antara Rukun-Rukun Islam.

Adapun manfaat puasa, ialah sebagaimana telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (QS. al-Baqarah : 183)

Maka manfaat puasa yang sesungguhnya, ialah takwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi laranganNya. Sehingga manusia melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, yaitu berupa bersuci dan shalat, serta menjauhi yang telah Allah Azza wa Jalla haramkan baginya, seperti berdusta, menggunjing, dan menipu, serta lalai dengan kewajiban-kewajibannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya);

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan masih juga melakukannya, serta melakukan perbuatan-perbuatan bodoh, maka Allah tidak membutuhkan terhadap puasanya, meskipun ia meninggalkan makan dan minumnya.”

Yang amat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin yang berpuasa pada bulan ini, perbuatan mereka tidak jauh berbeda dengan tatkala hari-hari berbuka (saat tidak berpuasa). Terkadang antara mereka dijumpai ada yang masih melalaikan kewajiban atau melakukan keharaman. Dan sekali lagi, ini sangat disesalkan. Adapun mukmin yang berakal, ialah mereka yang tidak menjadikan hari-hari puasanya sama seperti hari-hari berbukanya. Akan tetapi (sudah menjadi keharusan), apabila pada hari-hari puasanya, ia menjadi hamba yang lebih bertakwa dan lebih taat kepadaNya.

Ketiga : Perkara Ketiga, Yaitu Qiyam (Berdiri Untuk Shalat)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak untuk melakukan qiyam dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan balasan, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.”

Sebagaimana telah dimaklumi, qiyam Ramadhan ini mencakup shalat-shalat sunnah pada malam hari dan shalat tarawih. Oleh karena itu, seharusnya setiap orang supaya memperhatikan dan menjaganya, serta berusaha mengikuti imam shalat sampai selesai. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):

“Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai shalatnya, akan ditulis (pahala) shalat semalaman.”

Adapun bagi para imam yang mengimami manusia pada shalat tarawih, mereka wajib bertakwa kepada Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan makmum. Mereka harus shalat dengan tuma’ninah dan tenang (tidak tergesa-tergesa), sehingga para makmum bisa melaksanakan setiap kewajiban dan amalan-amalan sunnah sebaik mungkin. Sedangkan yang dilakukan kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka shalat secara cepat sehingga tidak tuma’ninah. Padahal tuma’ninah merupakan bagian dari rukun-rukun shalat. Shalat tidak sah kecuali dengan tuma’ninah. Oleh karena itu, tergesa-gesa dalam shalat adalah haram, sebab (1) mereka meninggalkan tuma’ninah, (2) seandainya mereka (imam) tidak meninggalkan tuma’ninah, maka sesungguhnya mereka menjadikan lelah orang-orang yang di belakangnya serta menyebabkan orang-orang itu meninggalkan tuma’ninah.

Oleh karena itu, seseorang yang mengimami manusia, jangan seperti jika ia shalat sendiri. Dia harus menjaga amanah terhadap manusia dan melaksanakan shalat dengan benar. Para ulama telah menyebutkan, bahwasanya seorang imam dimakruhkan untuk mempercepat shalat sehingga menghalangi makmum untuk melaksanakan amalan sunnah. (Apabila demikian keadaannya), maka bagaimana jika imam mempercepat shalat sehingga menghalangi makmum dari mengerjakan sesuatu yang wajib?

SUMBER: Majalah as-Sunnah, edisi 05, tahun XI (1428H/2007M).

Tiada ulasan: